Apakah Kenangan Punya Pajak?
Oleh: Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Daftar Isi
-
Pendahuluan
-
Pengantar Filosofis
-
Kenangan dan Beban Emosional
-
Pajak Batiniah yang Tak Terhindarkan
-
Contoh Praktis: Dari Rindu Hingga Trauma
-
Pesan Positif: Mengolah Kenangan Menjadi Energi
-
Kata Motivasi Penutup
1. Pendahuluan
Ketika berbicara tentang kenangan, kita sering melibatkan emosi yang dalam—dari senyuman kecil yang dikenang diam-diam, hingga luka yang masih menganga meski bertahun telah berlalu. Tapi pernahkah kita bertanya, “Apakah kenangan punya pajak?” Sebuah pertanyaan absurd jika dibaca secara harfiah, namun mengandung muatan filosofis yang sangat manusiawi.
Jika pajak adalah sebuah kewajiban yang harus dibayar atas apa yang kita miliki, maka bisa jadi kenangan pun menuntut kita ‘membayar’ sesuatu atas keberadaannya di dalam hidup kita—baik berupa air mata, senyum palsu, beban jiwa, hingga keputusan-keputusan penting yang kita ambil karena masa lalu. Maka marilah kita menyelami lebih dalam filosofi ini.
2. Pengantar Filosofis
Pajak adalah instrumen dalam dunia nyata untuk menyokong kelangsungan sistem dan masyarakat. Namun dalam ranah batin, kita juga ‘membayar’ banyak hal untuk mempertahankan keseimbangan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Kenangan adalah properti mental. Ia tak terlihat, tapi nyata. Ia tak berwujud, tapi bisa menuntut ruang dan perhatian. Ia menyimpan rasa, luka, dan makna. Layaknya rumah yang kena pajak tahunan, kenangan pun bisa jadi harus ‘dibayar’—bukan dengan uang, tapi dengan rasa.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kenangan punya pajak, tetapi: berapa besar yang harus kita bayar untuk menyimpan atau melepaskannya?
3. Kenangan dan Beban Emosional
Setiap kenangan memiliki nilai, tetapi tidak semua membawa rasa yang sama. Kenangan manis mungkin memberi kita energi, inspirasi, bahkan alasan untuk tetap hidup. Tapi kenangan pahit bisa menyerupai utang yang menagih setiap malam saat kita hendak tidur.
Apakah itu bukan bentuk ‘pajak’?
Pajak untuk luka yang belum sembuh.
Pajak untuk senyum yang dipaksa muncul di wajah.
Pajak untuk perasaan yang harus disembunyikan agar orang lain tak terganggu.
Dan yang paling berat: pajak untuk diam, karena tidak semua kenangan bisa diceritakan.
4. Pajak Batiniah yang Tak Terhindarkan
Ada beberapa bentuk ‘pajak kenangan’ yang sering kita alami:
-
Pajak Kesetiaan: Kita tetap memegang kenangan akan seseorang meski ia sudah pergi. Kita menolak cinta baru karena masih ‘membayar’ kenangan lama.
-
Pajak Luka: Kenangan buruk membuat kita sulit percaya pada orang lain. Setiap hubungan baru dikenai ‘tarif ketakutan’ karena trauma yang belum lunas.
-
Pajak Penyesalan: Ketika kita mengingat keputusan bodoh di masa lalu, kita membayar dengan rasa bersalah yang terus menerus. Setiap senyuman hari ini terasa dicicil dengan penyesalan lama.
Tapi adakah cara membebaskan diri dari pajak ini?
5. Contoh Praktis: Dari Rindu Hingga Trauma
Mari kita ambil beberapa ilustrasi kehidupan nyata:
-
Seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya sejak kecil. Kenangan yang ia simpan bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga pertanyaan yang tak pernah terjawab. Pajaknya? Perasaan tidak utuh, selalu merasa kekurangan kasih sayang, dan rasa iri terhadap mereka yang lengkap.
-
Seorang wanita yang pernah dicintai lalu dikhianati. Ia menyimpan kenangan tentang tatapan mata, janji-janji, dan pelukan terakhir. Pajaknya? Sulit membuka hati untuk orang lain, takut jatuh cinta, dan sering membandingkan pasangan baru dengan kenangan lama.
-
Seorang pria yang pernah gagal dalam karir besar. Setiap kali ia melihat kesempatan baru, ia ingat kegagalan masa lalu. Pajaknya? Keraguan, rasa takut mengambil risiko, dan akhirnya jalan di tempat.
Kenangan bisa menjadi guru, tapi juga bisa menjadi penjara. Pajak batin yang kita bayarkan akan tergantung pada bagaimana kita memperlakukan kenangan itu sendiri—apakah sebagai pelajaran, atau sebagai hukuman abadi.
6. Pesan Positif: Mengolah Kenangan Menjadi Energi
Lalu bagaimana caranya agar kenangan tidak membebani, tetapi malah memberi energi?
-
Terima, bukan tolak. Semakin kita menolak kenangan, semakin besar ‘denda’ emosional yang kita bayar. Menerima membuat kita bisa mengelola.
-
Ubah Fungsi Kenangan. Jadikan kenangan buruk sebagai pelajaran, dan kenangan manis sebagai penguat semangat. Kenangan tidak bisa dihapus, tapi bisa dimaknai ulang.
-
Berbagi Cerita. Kadang membayar pajak kenangan itu terasa ringan kalau kita mau berbagi cerita dengan orang yang peduli. Bercerita bukan berarti lemah—justru itu jalan menuju pembebasan batin.
-
Berdoa dan memaafkan. Dalam spiritualitas, pengampunan adalah bentuk ‘amnesti’ terbaik dari kenangan buruk. Saat kita memaafkan, kita membebaskan diri dari beban tak kasat mata yang menuntut terus-menerus.
7. Kata Motivasi Penutup
“Kenangan bukan musuh yang harus dihindari, tapi guru yang harus dihormati.
Jangan takut membayar ‘pajaknya,’ asalkan kamu tahu bahwa setiap pembayaran adalah investasi untuk masa depanmu yang lebih ringan.”– Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Kenangan akan selalu menjadi bagian dari hidup kita. Ia seperti lukisan tua yang tergantung di dinding rumah hati—ada yang warnanya masih cerah, ada yang mulai pudar. Tapi jangan biarkan kenangan menjadikan kita budak dari masa lalu. Jadilah pemilik, bukan korban. Jadikan pajak kenangan itu bukan sebagai beban, tapi sebagai bagian dari pertumbuhan batin kita sebagai manusia.
Hidup ini terlalu indah jika hanya diisi oleh cerita lama.
Mari ciptakan kenangan baru yang lebih pantas untuk dikenang—yang bukan untuk ditangisi, tetapi untuk disyukuri.
Karena pada akhirnya, yang membuat kita benar-benar hidup bukanlah kenangan yang kita simpan, tapi makna yang kita bangun dari kenangan itu.