Apakah Logika dan Rezeki Pernah Berteman?
Oleh Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Daftar Isi
-
Pendahuluan
-
Pengantar Filosofis
-
Menyingkap Hubungan Antara Logika dan Rezeki
-
Rezeki yang Datang di Luar Rumus
-
Contoh Praktis dalam Kehidupan Nyata
-
Ketika Logika Tak Mampu Menakar Takdir
-
Pesan Positif dari Pertemuan Ajaib Itu
-
Kata Motivasi Penutup
1. Pendahuluan
Di zaman yang menuhankan angka dan akal, kita kerap menjadikan logika sebagai satu-satunya kompas hidup. Tapi bagaimana jika ada bagian dari kehidupan yang tak bisa dijelaskan oleh logika semata? Rezeki, misalnya. Apakah rezeki selalu berpihak pada yang paling cerdas? Apakah ia hadir hanya karena hitungan rasional? Lalu, benarkah logika dan rezeki adalah dua sahabat? Atau justru dua dunia yang jarang bersentuhan?
2. Pengantar Filosofis
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, namun menyimpan kedalaman yang mencubit nurani: “Apakah logika dan rezeki pernah berteman?” Sebab jika ya, maka setiap orang yang logis dan rasional seharusnya hidup berkecukupan. Tapi kenyataannya, tak sedikit mereka yang ‘berpikir hebat’ hidupnya tetap seret. Sebaliknya, banyak orang sederhana, bahkan dianggap ‘tidak logis’, justru hidup dalam kelimpahan.
Apakah ini bukti bahwa logika dan rezeki itu seperti sahabat yang saling tak mengerti bahasa satu sama lain?
3. Menyingkap Hubungan Antara Logika dan Rezeki
Logika adalah bahasa nalar: ia bicara sebab-akibat, kerja-usaha, hasil-berimbang. Ia tak suka kejutan. Sementara rezeki adalah bagian dari hidup yang sering datang tanpa aba-aba. Ia bisa mampir melalui jalan yang tak pernah kita pikirkan.
Logika bilang, “Kalau kamu rajin, kamu pasti kaya.”
Rezeki bilang, “Ada yang rajin tapi tetap susah. Tapi ada yang sekali pukul langsung jackpot.”
Lalu, logika tersinggung.
Di sinilah konfliknya dimulai. Sebab logika ingin segala sesuatu masuk akal. Tapi rezeki, sering kali datang dari arah yang tidak masuk logika.
Namun jangan buru-buru menyimpulkan bahwa logika dan rezeki adalah musuh bebuyutan. Mereka bisa berteman, bahkan bersahabat baik—asal kita tahu batas-batas wilayahnya.
4. Rezeki yang Datang di Luar Rumus
Seorang pengusaha sukses pernah berkata, “Dari 10 keputusan bisnis saya, 7 di antaranya berdasarkan intuisi, bukan hitungan Excel.” Artinya, ada ruang di mana rezeki datang bukan karena persiapan rapi, tapi karena momentum, insting, atau... faktor X yang sulit dijelaskan.
Berapa banyak orang yang berhasil bukan karena rencana logis, tapi karena keberanian mengambil langkah di luar akal sehat?
Berapa banyak yang melamar kerja dengan CV seadanya, tapi justru diterima karena ‘klik batin’ saat wawancara?
Rezeki bukan hanya soal bekerja keras, tapi juga bekerja cerdas, bekerja ikhlas, dan kadang... bekerja nekat.
5. Contoh Praktis dalam Kehidupan Nyata
Mari kita lihat beberapa contoh:
-
Petani Tua dan Lahan Kering: Secara logika, menanam padi saat musim kemarau adalah kebodohan. Tapi si petani tua, yang dianggap ‘nyeleneh’, tetap menanam. Ternyata, karena kemarau panjang, semua petani gagal panen—kecuali dia. Logika tertunduk malu.
-
Anak SMK Jualan Online: Tidak punya gelar tinggi. Cuma punya HP dan kuota. Tapi tekun posting, belajar dari YouTube, ikut komunitas gratis. Dalam dua tahun, bisa beli rumah. Ia membuktikan bahwa rezeki bisa datang dari jalur tak biasa.
-
Lulusan Sarjana Menganggur: Pintar, CV bagus, tapi terlalu bergantung pada logika peluang. Ia menunggu pekerjaan ideal. Sayangnya, hidup tidak selalu menunggu.
Apa kesimpulannya? Bahwa rezeki sering kali lebih akrab dengan keberanian bertindak, daripada sekadar perhitungan nalar.
6. Ketika Logika Tak Mampu Menakar Takdir
Logika tak mampu membaca semua variabel kehidupan. Ia butuh data lengkap, grafik yang rapi, dan simulasi berulang. Tapi hidup tidak seperti lab eksperimen.
Ada yang disebut ridha, ada yang bernama doa ibu, ada yang muncul dari niat baik, amal tersembunyi, atau bahkan kesalahan yang justru membuka jalan baru. Semua itu, sayangnya, tidak masuk dalam silabus logika.
Ketika hidup melempar kita ke sudut yang tak masuk akal, saat itulah kita diuji: masihkah kita percaya bahwa semesta punya cara kerja sendiri?
7. Pesan Positif dari Pertemuan Ajaib Itu
Jika logika dan rezeki pernah bertemu, maka pertemuan itu terjadi di persimpangan niat dan tindakan. Logika mengarahkan langkah, rezeki memberi kejutan. Mereka tak harus saling menaklukkan. Tapi saling melengkapi.
Gunakan logika untuk mempersiapkan. Tapi biarkan rezeki mengalir dari arah yang tak disangka. Jangan jadikan logika sebagai benteng yang menolak kemungkinan. Tapi jadikan dia sebagai jembatan menuju potensi yang lebih besar.
Rezeki itu seperti angin—kadang datang dari utara, kadang dari selatan. Yang penting, kita punya layar. Dan layar itu bisa dipasang dengan logika, tapi perjalanannya akan dibawa oleh arah ilahi.
8. Kata Motivasi Penutup
Jangan takut kehilangan rezeki karena tak punya strategi. Takutlah kalau kamu terlalu mengandalkan logika hingga lupa membuka hati.
Rezeki bukan hanya datang karena pandai menghitung, tapi karena berani melangkah walau dihitung pun tak cukup. Tak semua harus masuk akal. Karena Tuhan pun tak pernah bisa diringkus dalam rumus.
Tetaplah berpikir cerdas. Tapi juga beriman kuat. Bangun rencana, tapi siapkan ruang untuk keajaiban.
Sebab, mungkin… logika dan rezeki memang bukan sahabat karib. Tapi mereka bisa duduk semeja—jika kita cukup bijak untuk tak memihak salah satunya secara buta.
Salam penuh makna,
Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Monolog Seorang Pemikir Pinggiran: Antara Logika dan Rezeki
(oleh Pujangga Digital Enigma Jeffrie)
Apakah logika dan rezeki pernah berteman?
Atau mereka hanya saling sapa di simpang jalan?
Aku duduk di sudut kopi, bertanya pada hujan,
Mengapa si pintar kadang kalah dari si nekat yang jalan.
Logika mengajarku merancang,
Menghitung untung-rugi dalam tiap langkah,
Tapi rezeki datang seperti angin beraroma tempe goreng,
Menyerempet hati, tak peduli eksak atau lengah.
Aku pernah kuliah tujuh tahun demi gelar,
Sementara tetanggaku main TikTok, viral, langsung punya modal.
Siapa yang bisa salahkan rezeki?
Tapi logika dalam hatiku berontak: “Di mana keadilan, Bung?”
Bapakku dulu berkata,
“Kerja keras tidak akan mengkhianati hasil,”
Tapi aku lihat banyak hasil datang dari warisan,
Dan kerja keras hanya diberi ucapan belas kasihan.
Aku mulai berpikir,
Mungkinkah rezeki tak bisa diajak diskusi?
Apakah dia alergi pada rencana dan strategi?
Ataukah memang dia suka drama dan ironi?
Logika dan rezeki,
Bagaikan dua sahabat yang tak saling percaya,
Yang satu bicara sebab-akibat,
Yang satu bicara takdir dan doa.
Kalau logika bilang,
“Jangan buka warung jam dua pagi, pelanggan tak ada.”
Rezeki datang dari tukang becak lapar,
Yang mencari kopi hitam dan singkong goreng penuh asa.
Logika bicara statistik,
Rezeki bicara mu’jizat.
Logika bicara kompetensi,
Rezeki bicara koneksi.
Di mana keadilan bagi mereka yang berpikir sistematis?
Jika yang naik pangkat adalah menantu bos yang manis?
Ah, logika kadang hanya jadi hiasan mulut,
Sementara rezeki datang pada yang punya rute-rute mulus.
Pernah aku memaki rezeki,
Kenapa kau pilih si malas dan abaikan si rajin?
Tapi ia menjawab, pelan di malam:
“Karena hidup bukan soal siapa benar, tapi siapa berserah dan tenang.”
Logika dan rezeki,
Dua makhluk dari dunia berbeda.
Yang satu hidup di otak,
Yang satu turun lewat dada.
Mereka bukan musuh,
Tapi bukan pula sahabat akrab.
Kadang bertemu,
Kadang bertolak dalam tiap sebab.
Aku coba menyatukan keduanya.
Aku hitung peluang, tapi tetap berdoa.
Aku kerja keras, tapi tetap dermawan.
Aku atur rencana, tapi juga berserah pada Tuhan.
Contoh nyata tak sulit kutemui:
Seorang petani yang tak lulus SD,
Tiap pagi menyiram ladang dengan doa dan tangan retak,
Lebih bahagia daripada sarjana ekonomi yang stres bayar cicilan otak.
Atau seorang tukang parkir di pasar tradisional,
Yang tersenyum tiap kali koin dilempar,
Padahal ia tak tahu teori permintaan-penawaran,
Tapi rezekinya mengalir dari keikhlasan yang menggetarkan.
Sementara manajer dengan dasi tercekik target,
Duduk di meja kaca penuh dokumen,
Tiap rezekinya harus diverifikasi,
Tapi tetap merasa kekurangan dan mati rasa dalam kebisingan.
Rezeki itu absurd,
Tapi bukan bodoh.
Logika itu cerdas,
Tapi tak selalu menang.
Jika aku boleh memilih,
Aku tak ingin kehilangan keduanya.
Aku ingin tetap berpikir,
Tapi juga percaya pada hal-hal yang tak bisa kupikir.
Karena mungkin di situlah seni kehidupan,
Menerima bahwa tidak semua dapat dijelaskan dengan rumus dan alasan.
Bahwa keberuntungan kadang lahir dari kepasrahan,
Dan bahwa kerja keras harus tetap dijalankan walau hasil tak bisa ditebak dengan akurasi bulanan.
Logika dan rezeki tak perlu dipertemukan paksa,
Biarlah mereka berjalan sejajar dengan bahasa berbeda.
Yang satu menjaga langkahku agar tak sembrono,
Yang satu menyisipkan kejutan agar hidup tak terlalu mono.
Aku bertanya lagi di akhir monologku:
Apakah logika dan rezeki pernah berteman?
Jawabannya datang dari secangkir kopi yang tumpah—
Tangan logikaku lengah,
Tapi rezeki datang dari pemilik warung yang berkata:
“Tak apa, Mas. Saya buatkan baru. Gratis saja.”
Itulah hidup.
Logika tergelincir, rezeki tersenyum.
Dunia tak harus selalu adil,
Tapi bisa tetap indah bila hati kita tidak kaku seperti kalkulasi di Excel.
Pesan Positif:
"Hiduplah dengan logika agar tak mudah ditipu,
tapi jangan lupakan rezeki yang kadang datang tanpa diduga.
Gunakan pikiran untuk merancang, tapi tetap buka hati untuk menerima kejutan."
Motivasi Penutup:
“Teruslah belajar dan berpikir, walau kadang hasil datang tak logis.
Karena hidup bukan soal hitung-hitungan semata,
Tapi juga soal keikhlasan menerima misteri-Nya.”
—