Kalau Semua Bisa Dibeli, Apa Gunanya Cinta?
Pembelajaran Tentang Nilai, Makna, dan Manusia yang Tak Ternilai
Oleh: Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Daftar Isi
-
Pendahuluan
-
Pengantar Filosofis
-
Penjelasan Inti
-
Contoh Praktis dalam Kehidupan
-
Pesan Positif untuk Zaman Serba Transaksi
-
Kata-Kata Motivasi Penutup
1. Pendahuluan
Di era di mana saldo digital bisa mengatur senyum, followers bisa disewa, dan status bisa dikurasi dengan filter, kita perlu sejenak bertanya: “Kalau semua bisa dibeli, apa gunanya cinta?”
Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia adalah sumbu api yang menyalakan kembali kesadaran bahwa manusia bukan robot, dan kehidupan bukan katalog harga.
2. Pengantar Filosofis
Sejak manusia mengenal tukar-menukar, kita terbiasa mengaitkan nilai dengan harga. Namun ketika semuanya — dari layanan, perhatian, hingga pengakuan — bisa dimonetisasi, maka yang tidak bisa dibeli justru menjadi harta paling mahal.
Cinta, misalnya, tak bisa di-scan barcode. Ia bukan cashback. Ia tidak tergantung kurs dolar.
Cinta adalah satu-satunya yang tidak akan habis, bahkan saat dunia kehabisan logam mulia.
Filosofi ini adalah panggilan batin untuk mengoreksi arah: bahwa bukan semua hal harus dilabeli harga, tapi semua hal harus dicari maknanya.
3. Penjelasan Inti: Nilai Tak Selalu Soal Nominal
Bila semua bisa dibeli — waktu, jabatan, tubuh, bahkan suara rakyat — maka hilanglah yang namanya keikhlasan.
Cinta adalah satu-satunya entitas yang tetap hidup meski rekening kosong. Cinta adalah logika hati yang menolak diperjualbelikan.
Mengapa cinta tidak bisa dibeli?
-
Karena cinta melibatkan kerelaan, bukan kontrak.
Cinta sejati lahir dari pilihan bebas, bukan dari transaksi. -
Karena cinta tak bisa dipaksa.
Sekalipun kamu memiliki kekuasaan, kamu tak bisa membeli seseorang untuk benar-benar mencintaimu — kamu hanya bisa membeli kepura-puraannya. -
Karena cinta adalah proses, bukan produk.
Ia tumbuh, berubah, dan diuji oleh waktu. Ia tidak dikemas dengan plastik lalu dikirim via ekspedisi.
4. Contoh Praktis dalam Kehidupan
A. Kisah Orang Kaya yang Sepi
Lihatlah para tokoh terkenal yang memiliki segalanya: rumah mewah, kendaraan mewah, istri cantik. Tapi berapa banyak dari mereka yang tetap merasa kosong dan depresi? Karena cinta tak bisa dibeli, ia hanya bisa dirasakan — dan tak semua orang kaya mampu membelinya dengan rasa.
B. Seorang Ibu dan Anaknya
Seorang ibu bisa merawat anaknya tanpa dibayar sepeser pun. Ia rela begadang, mencuci kotoran, dan mengorbankan waktu istirahatnya. Cinta seorang ibu adalah bukti bahwa yang tak dibayar justru paling bernilai.
C. Relawan di Tengah Bencana
Saat dunia dilanda bencana, ada orang-orang yang datang tanpa diminta, tanpa dibayar. Mereka membantu, menyelamatkan, dan memeluk korban. Mereka digerakkan oleh cinta, bukan slip gaji.
5. Pesan Positif untuk Zaman Serba Transaksi
Zaman ini memuja efisiensi dan kapital. Kita dihujani oleh slogan “beli sekarang, bayar nanti”, seolah-olah semua aspek hidup adalah barang dagangan.
Namun, filosofi “Kalau Semua Bisa Dibeli, Apa Gunanya Cinta?” adalah bentuk perlawanan sunyi terhadap budaya transaksional. Ini adalah ajakan untuk:
-
Menjaga yang tidak ternilai dengan tindakan yang tulus.
-
Menciptakan hubungan yang berlandaskan kepercayaan, bukan keuntungan.
-
Menghargai kesetiaan, bukan karena loyalti dibayar, tapi karena ia dipilih.
Jika kita tidak menjaga cinta — entah itu cinta terhadap sesama, cinta pada profesi, cinta pada tanah air, atau cinta pada kebenaran — maka dunia hanya akan menjadi pasar gelap yang penuh tipu daya dan kesepian.
6. Kata-Kata Motivasi Penutup
“Cinta tidak bisa dibeli karena cinta adalah mata uang jiwa.”
“Saat semua bisa dibayar, hanya cinta yang bisa menyelamatkan manusia dari kehampaan.”
“Bila hidupmu hanya berisi tagihan, jangan lupa menyisakan ruang untuk perasaan.”
“Mereka yang mencintai tanpa syarat, adalah mereka yang paling kaya di dunia.”
Akhir Kata:
Cinta bukan bonus. Ia adalah fondasi. Tanpa cinta, rumah menjadi hotel; sekolah menjadi pabrik; pernikahan menjadi bisnis; dan manusia menjadi robot.
Maka jagalah cinta. Cinta pada kehidupan. Cinta pada sesama. Cinta yang tak ingin dibeli, tapi ingin dibagi.
Karena dalam dunia yang segala sesuatu bisa dibeli, cinta adalah satu-satunya yang layak diperjuangkan.
Ditulis oleh:
Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Kalau Semua Bisa Dibeli, Apa Gunanya Cinta?
Puisi Monolog oleh Pujangga Digital Enigma Jeffrie
(Monolog batin seorang manusia digital yang mulai rindu makna)
Aku bertanya dalam sunyi digital,
di antara katalog wajah dan diskon moral:
"Kalau semua bisa dibeli, apa gunanya cinta?"
Saat jari menari, hati pun tergadai,
dan senyum bisa diatur lewat fitur berbayar.
Apa kabar cinta di zaman top-up?
Di mana kata rindu diganti kupon,
dan pelukan tinggal filter di layar handphone?
Aku bukan musafir suci,
hanya manusia yang lelah dijual murah oleh algoritma,
dipaksa percaya bahwa nilai manusia
ditakar dari saldo dan suara pasar.
Aku melihat:
Teman bisa disewa,
likes bisa dibeli,
bahkan pengikut pun tak lagi perlu setia—cukup bayar tagihan bulanan.
Lalu aku bertanya:
“Apa gunanya cinta, jika semua sudah dibanderol angka?”
Cinta bukan layanan premium,
bukan fitur eksklusif dari versi berbayar,
cinta adalah koneksi nirkabel antara hati
yang tak pernah tahu sandi transfer.
Di pojok dunia yang masih senyap,
seorang ibu menyusui anaknya—
tanpa menagih invoice,
tanpa menulis nota jasa,
tapi penuh peluh, penuh cinta.
Itu cinta:
bukan proposal, bukan kontrak kerja,
bukan janji-janji program loyalitas.
Jika cinta bisa dibeli,
maka para pemilik rekening gendut
takkan pernah menangis di malam sunyi,
takkan mencari pelukan yang tak bisa dikirim lewat kurir kilat.
Mereka punya semuanya—kecuali ketulusan.
Apa gunanya cinta, jika semuanya bisa dibeli?
Jawabku: justru karena semuanya bisa dibeli,
maka cinta adalah satu-satunya yang tak bisa.
Ia seperti udara: tak terlihat, tapi kau mati tanpanya.
Ia seperti doa: tak kasat mata, tapi menyelamatkan jiwa.
Aku hidup di era langganan—
bahkan kasih sayang pun harus di-subscribe.
Tapi aku rindu yang asli:
tatapan yang jujur,
genggaman tangan yang tak pakai syarat dan ketentuan berlaku.
Di layar aku melihat senyum,
tapi di balik senyum:
ada invoice, ada kerjasama brand, ada kesepakatan endorse.
Di mana cinta yang tak menjual diri?
Di mana kasih yang tak meminta QR code sebagai bukti?
Cinta itu absurd,
karena ia tak ada harganya,
tapi mengubah segalanya.
Ia tak bisa dipajang,
tapi mampu membangun kerajaan kepercayaan.
Cinta adalah relawan yang berlari ke zona bencana
saat orang lain berlomba menambah followers.
Cinta adalah tangan yang tetap menggenggam
walau rekening minus dan masa depan tak pasti.
Jika semua bisa dibeli:
waktu, tenaga, bahkan tawa,
maka cinta adalah sisa kemanusiaan
yang menolak dibayar untuk tetap tulus.
Cinta adalah sisa keberanian
yang melawan dunia transaksional.
Ia berkata:
"Aku tak butuh harga. Aku butuh ruang."
Karena cinta tak datang dari nota,
tapi dari nada—
getar batin yang tak bisa dijelaskan
dengan grafik pasar atau analisis SWOT.
Cinta adalah kamu yang tetap di sisi
meski tak ada janji promosi,
tak ada janji THR,
tak ada benefit selain bahagia bersama.
Aku menatap langit hari ini,
bertanya pada awan:
“Masihkah ada cinta yang tidak dijual?”
Awan tak menjawab,
tapi mataku menangkap dua lansia
berjalan pelan, saling menggandeng,
tanpa drama, tanpa followers.
Itu cinta.
Tak perlu viral. Tak perlu divalidasi.
Cukup dirasakan dan dihargai.
Cinta tak bisa dipaksa,
tak bisa dibeli,
tak bisa disewa.
Ia hadir, atau tidak sama sekali.
Ia tak datang dengan voucher diskon,
tapi dengan pengorbanan diam-diam.
Jika semua bisa dibeli,
maka kita telah menjual satu-satunya hal
yang membuat kita layak disebut manusia.
Cinta.
Cinta bukan barang,
bukan brand,
bukan hadiah promosi akhir tahun.
Ia adalah keberanian untuk tetap percaya
di dunia yang sibuk mencurigai.
Cinta adalah kamu yang merawatku
saat aku lumpuh,
bukan karena kamu digaji,
tapi karena kamu percaya:
cinta tak pernah minta bukti bayar.
Kalau semua bisa dibeli, apa gunanya cinta?
Gunanya:
untuk menyelamatkan jiwa kita
dari kematian perasaan.
Gunanya:
untuk mengajarkan kita bahwa
manusia bukan angka,
dan hidup bukan e-commerce.
Gunanya:
agar saat semua sudah punya harga,
kita masih punya hati
yang tahu mana yang tak ternilai.
Jadi jagalah cinta.
Karena ketika semuanya jadi transaksional,
cinta adalah satu-satunya revolusi emosional.
Ketika hubungan hanya dihitung biaya,
cinta adalah perlawanan
yang berbisik lembut di telinga:
“Aku di sini bukan karena kamu mampu,
tapi karena aku mau.”
Cinta itu tidak logis, tapi justru karena itu ia mulia.
Ia tak rasional,
tapi selalu menyelamatkan manusia dari kebekuan sistem.
Maka jika kau masih punya cinta,
jangan jual.
Jangan diskon.
Jangan lelangkan hatimu.
Rawat ia.
Beri ia ruang.
Bukan sebagai komoditas,
tapi sebagai cahaya yang tak bisa digelapkan oleh kapital.
Karena jika semua bisa dibeli,
cinta adalah satu-satunya yang layak diperjuangkan.
Ditulis oleh:
Pujangga Digital Enigma Jeffrie