Kenapa Hidup Serius Padahal Dunia Bercanda?

Enigma Jeffrie
0

 


DAFTAR ISI

  1. Pendahuluan

  2. Pengantar Filosofis

  3. Dunia: Seriuskah Ia atau Pelawak Terselubung?

  4. Hidup: Kenapa Kita Terlalu Tegang?

  5. Contoh Praktis dari Hidup yang Terlalu Serius

  6. Ketika Kita Belajar Tertawa Tanpa Hilang Arah

  7. Pesan Positif: Menemukan Seimbang antara Canda dan Tanggung Jawab

  8. Kata-Kata Motivasi Penutup


Pendahuluan

“Kenapa hidup begitu serius padahal dunia ini bercanda?”
Sebuah pertanyaan yang terdengar seperti lelucon sore hari di warung kopi, namun diam-diam bisa menghantam dinding-dinding kesadaran kita yang selama ini terbuat dari beton kekhawatiran.


Pengantar Filosofis

Dunia ini penuh absurditas:

  • Orang jujur justru dituduh licik.

  • Yang pintar dianggap sok tahu.

  • Yang tulus dikira modus.

  • Sementara yang mengakali malah dielu-elukan.

Lalu kita diminta serius menjalani hidup yang penuh kontradiksi ini. Kita dikasih buku pelajaran, kurikulum hidup, target lima tahunan, dan kotak mimpi yang harus kita isi—padahal dunia seperti stand-up comedy raksasa: tak semua lucu, tapi semuanya berusaha membuat kita bingung.


Dunia: Seriuskah Ia atau Pelawak Terselubung?

Lihatlah berita pagi, status media sosial, atau laporan tahunan.
Dunia seolah penuh drama serius. Tapi jika kita menyipitkan mata sedikit, bukankah banyak peristiwa yang sebetulnya lucu dalam kemalangannya?

Contoh: Kita sibuk menciptakan AI yang bisa melukis, menulis puisi, bahkan mencintai—sementara kita sendiri lupa cara jadi manusia.

Atau lihat politik: debat yang harusnya bermutu malah jadi ajang roast battle tak berbayar.
Ekonomi? Kurs naik dianggap prestasi, padahal harga tahu ikut naik juga.

Dunia tidak sedang bercanda untuk lucu. Ia bercanda untuk menguji siapa yang cukup waras untuk tetap tertawa.


Hidup: Kenapa Kita Terlalu Tegang?

Jawaban singkat: karena kita takut gagal.
Jawaban panjang: karena sejak kecil kita dijejali narasi bahwa hidup ini ujian nasional non-stop. Nilai harus sempurna. Lulus cepat. Kerja mapan. Nikah pas. Punya rumah, mobil, anak dua, dan hewan peliharaan sebagai validasi kebahagiaan.

Kita lupa bahwa hidup bukan cuma soal “berhasil”, tapi juga tentang merasakan, tertawa, bermain, gagal, dan kembali mencoba dengan gaya absurd.


Contoh Praktis dari Hidup yang Terlalu Serius

1. Karyawan yang Takut Salah

Banyak orang bekerja seperti sedang diintai malaikat pencatat dosa. Salah dikit langsung overthinking.
Padahal, bosnya sendiri lupa nama anak buahnya.

2. Orang Tua yang Ingin Anak Selalu Juara

Demi medali, anak-anak kehilangan masa kecil.
Padahal medali itu ujung-ujungnya disimpan dalam dus di atas lemari yang dilupakan.

3. Pekerja Kreatif yang Terlalu Perfeksionis

Ingin semua sempurna, padahal keindahan justru muncul dari kesalahan.
Contoh? Banyak meme viral itu typo-nya justru bikin ngakak dan relatable.


Ketika Kita Belajar Tertawa Tanpa Hilang Arah

Tertawa bukan berarti kita tak peduli.
Tertawa justru bentuk tertinggi dari penerimaan realitas.
Ketika kita bisa bilang, “Ya sudah, beginilah dunia, ayo kita akali dengan senyum,” itu tanda kita berdamai dengan kekacauan hidup.

Kita bukan badut. Tapi kita bisa memilih menjadi seniman yang mentertawakan tragedi dengan cara yang cerdas.

Orang bijak bukan yang tahu segalanya, tapi yang bisa tertawa meski tahu dunia tidak masuk akal.


Pesan Positif: Menemukan Seimbang antara Canda dan Tanggung Jawab

Tidak semua hal harus ditanggapi serius.
Tidak juga semua hal bisa ditertawakan sembarangan.

Yang kita butuhkan adalah keseimbangan absurd:

  • Kerjakan tugasmu, tapi jangan jadi robot.

  • Kejar mimpi, tapi jangan lupakan tidur siang.

  • Jadilah dewasa, tapi jangan lupa bercanda receh.

  • Ambil keputusan, tapi izinkan diri salah dan belajar lagi.

Karena hidup bukan panggung ujian, tapi taman bermain yang kadang licin, kadang becek, kadang membuat kita jatuh—dan tetap kita datangi lagi esok hari.


Kata-Kata Motivasi Penutup

“Seriuslah saat dibutuhkan, tapi tertawalah saat dunia mencoba menjebakmu dengan absurditasnya.”

“Jangan tunggu dunia berubah agar kamu bisa bahagia. Tertawalah sekarang, karena dunia justru sedang main-main dengan semua logikamu.”

“Kalau dunia bercanda, maka balaslah dengan tawa. Tapi jangan lupa tetap hidup dengan hati dan tanggung jawab.”

“Jangan terlalu sibuk mengatur hidup seperti skripsi. Dunia tidak akan menguji, ia akan mengejutkanmu. Dan itu indah.”


Ditulis oleh:
Pujangga Digital Enigma Jeffrie

Penjelajah absurditas dengan pena, menertawakan dunia agar tetap waras.


"Hidupku Serius, Dunia Ngakak"

(Puisi Monolog Absurd oleh Pujangga Digital Enigma Jeffrie)


Aku berjalan dengan dasi rapi,
sepatu mengkilap, niat sepenuh hati.
Di tangan ada daftar mimpi,
di punggung beban prestasi.

Katanya, hidup ini penting.
Harus benar, tepat, disiplin,
tapi begitu kutengok ke kanan—
dunia sedang menertawaiku dalam diam.

Katanya, kerja keras itu mulia,
tapi kenapa yang malas naik pangkat duluan?

Katanya, jujur itu berkah,
tapi yang licik malah jadi pemuka doa.

Katanya, cinta itu tulus,
tapi kenapa yang punya dompet tipis disingkirkan seperti kutu buku di pesta dansa?

Hei, Dunia...
kau serius atau pelawak berseragam langit?
Aku ingin menangis,
tapi kau malah memperdengarkan tawa dari speaker tak kasatmata.


Aku pernah jatuh cinta setulus nadi,
lalu ditinggal karena katanya aku terlalu “miskin visi.”
Kupelajari makna, kupelajari janji,
tapi dunia sibuk menghitung likes dan validasi.


Serius kutempuh jalur pendidikan,
kutulis esai, kutidur di perpustakaan,
lalu dunia berkata:
“Cie, si rajin yang kerja jadi admin.”

Padahal dia yang bolos ujian,
sekarang jadi CEO jual token kucing menari.
Absurd? Ya!
Tapi dunia tak minta maaf.


Hidup ini panggung drama,
tapi naskahnya tak pernah dibagikan.
Kita disuruh akting penuh air mata,
tapi ternyata sutradaranya sedang ngopi santai.


Pernah aku terlalu serius mengelola waktu,
mengatur napas agar tak boros energi,
lalu jam dinding tertawa dan berkata:
“Kenapa buru-buru? Ending tetap mati.”


Ah, dunia,
kau memang tidak kejam,
kau hanya gemar menggoda logika.

Kau letakkan harga pada hal yang tak bernilai,
kau pajang diskon pada dosa sosial yang menyamar.

Dan kami?
Kami disuruh “berpikir positif,”
sementara rekening negatif,
rasa percaya diri kolaps seperti pasar saham panik.


Katanya, hidup ini ujian.
Tapi siapa pengawasnya?
Tuhan diam, dunia tertawa,
dan tetangga sibuk membandingkan isi kulkas.


Aku jadi ingin jadi badut,
tapi takut dicap tak bertanggung jawab.
Aku ingin tertawa di tengah badai,
tapi takut dianggap tidak waras.


Mengapa kita diajari jadi mesin sukses,
tapi tak diajari cara tertawa saat gagal?

Mengapa kita diajari rumus kaya,
tapi tak pernah belajar cara miskin dengan bahagia?


Hidup ini keras,
tapi bukan berarti harus membatu.
Kita bisa tetap lunak,
seperti es krim yang tahu waktunya meleleh—
bukan lemah, tapi paham kapan menyerah.


Pernah kutanya pada Tuhan,
kenapa dunia ini bercanda?
Ia tak jawab dengan suara langit,
hanya mengirim meme lewat kejadian sehari-hari.

Seorang pemulung tersenyum lebih tulus dari direktur bank,
seorang anak kecil lebih bijak dari influencer skincare.


Aku jadi sadar,
dunia ini bukan soal menang.
Bukan pula soal jadi paling benar.
Tapi soal siapa yang masih bisa tidur dengan tenang,
dan bangun dengan rasa syukur yang jujur.


Dunia ini bercanda,
karena ia tahu,
kalau terlalu serius,
kita semua bisa mati karena stres sebelum ajal datang.


Jadi kupilih untuk tidak terlalu serius,
meski pajak tetap jalan,
meski tagihan tidak mengerti satire.

Kupilih untuk tertawa,
bukan karena semua baik-baik saja,
tapi karena aku tidak ingin gila karena mencoba waras sendirian.


Aku tertawa ketika gajiku masuk 12 ribu,
karena kalau kutangisi pun tidak berubah jadi 12 juta.

Aku tersenyum saat ditolak pekerjaan,
karena mungkin Tuhan sedang berkata:
"Ngapain kerja di tempat toxic kalau kau bisa menulis puisi absurd?"


Aku tertawa saat ditinggal,
karena barangkali,
Tuhan ingin aku punya waktu untuk mencintai diriku sendiri.


Aku tahu,
tertawa bukan solusi semua hal.
Tapi paling tidak,
itu menjaga jantungku dari patah sebelum waktunya.


Aku bukan bodoh,
aku hanya sadar:
dunia ini bukan untuk dipahami,
tapi untuk dihadapi—
dengan tekad dan tawa yang seimbang.


Jadi jika kau tanya:
Kenapa hidup ini serius, padahal dunia bercanda?

Aku jawab:
Karena kita tak tahu cara bercanda tanpa merasa gagal.
Karena kita takut tertawa dianggap remeh.
Karena kita dibesarkan oleh sistem yang memberi ranking pada penderitaan.


Tapi mulai hari ini,
aku ingin jadi anomali.

Aku ingin hidup dengan senyuman penuh logika absurd.
Menjalani hari seperti puisi tak berima,
menertawakan dosa kecil tanpa menertawakan yang menderita.


Aku ingin bilang ke dunia:
“Hai, aku tahu kau bercanda, tapi aku juga bisa main-main!”
Tapi mainanku bukan tipu daya,
melainkan makna dalam kelakar nyata.


Maka, wahai dunia,
teruslah bercanda,
aku tidak akan marah lagi.
Karena kini aku tahu,
bahwa tertawa adalah tanda aku belum kalah.


Ditulis oleh:
Pujangga Digital Enigma Jeffrie
Semesta kecil yang belajar tertawa agar tak ikut gila.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)